KONSEP SIMSARAH DALAM EKONOMI ISLAM
Zulkifli Lihawa (039)
Ekonomi Syariah
Universitas Muhammadiyah Malang
2015
SIMSARAH
Samsarah (simsar) adalah perantara perdagangan (orang
yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli), atau perantara antara penjual
dan pembeli untuk memudahkan jual beli.1
Menurut Sayid Sabiq perantara (simsar) adalah orang
yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna melancarkan
transaksi jual beli.2 Dengan adanya perantara maka pihak penjual dan
pembeli akan lebih mudah dalam bertransaksi, baik transaksi berbentuk jasa atau
berbentuk barang.
Menurut Hamzah Ya'qub samsarah (makelar) adalah
pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil
upah tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain makelar (simsar) ialah
penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli.3
Jadi samsarah adalah perantara antara biro jasa dengan pihak yang
memerlukan jasa mereka (produsen, pemilik barang), untuk memudahkan terjadinya
transaksi jual-beli dengan upah yang telah disepakati sebelum terjadinya akad
kerja sama tersebut.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
1M. Ali, Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,
(figh muamalat), ed. 1., cet.2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.
289
2Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 12, Bandung: PT Al-Ma'rif, 1996, hlm. 15
3Hamzah Ya'qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola
Pembinaan Hidup Dalam Perekonomian, Bandung: CV. Diponegoro, 1992.hlm. 269
Dalam hal ini Yusuf Qardhawi berpendapat makelar bagi orang
luar daerah dibolehkan, karena dapat melancarkan keluar masuknya barang dari
luar ke dalam daerah dengan perantaraan si makelar tersebut dengan demikian
mereka akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.4
Simsar
adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk
keperluan menjual maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang
yang mencarikan (menunjukkan) orang lain sebagai patrnernya sehingga pihak
simsar tersebut mendapat komisi dari orang yang menjadi parnernya.5
Al-simsar (jamak dari al-simsarah) adalah perantara antara
penjual dan pembeli dalam pelaksanaan jual beli, atau pedagang perantara yang
bertindak sebagai penengah antara penjual dan pembeli, yang juga dikenal
sebagai al-dallah. Al-simsar dari bahasa arab, yang berarti
juga tiga dalil yang baik, orang yang mahir. Pedagang sudah disebut al-samasirah
pada masa sebelum Islam tetapi Rasul menyebut mereka al-tujjar. Pada
masa sebelum Islam, perbedaan al-samsarah (perdagangan perantara)
biasanya terjadi pada orang kota dan orang yang tinggal di gurun, hal ini
dipraktekkan dalam semua aspek transaksi bisnis.6
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
4Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam,
(Terj. Mu'alam Hamidy), Surabaya : Bina Ilmu, 1993
5Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Terj. Kamaluddin
A.Marzuki), Jilid 13, Bandung: Al-Ma'rif, 1997, hlm. 159.
6Abdullah Alwi Haji Hassan, Sales and Contracs In Early
Islamic Commercial Law, Islamabad: Islamic Research Institute, 1994, hlm.
96-97
Samsarah adalah kosakata bahasa Persia yang telah diadopsi
menjadi bahasa Arab yang bearti sebuah profesi dalam menengahi dua kepentingan
atau pihak yang berbeda dengan kompensasi, baik berupa upah (ujroh) atau
bonus, komisi (ji'alah) dalam menyelesaikan suatu transaksi. Adapun
simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain sebagai
penengah dengan kompensasi (upah atau bonus), baik untuk menjual maupun
membeli.7
Ulama penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam
kitabnya, al-mutall, telah menyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam
figh dikenal dengan Samsarah, atau dalal sebagai sinonimnya, seraya
menyatakan : "jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli,
dikatakan ; dalalta dengan masdar yang difathahkan dal-nya, dalalat(an),
dikasrahkan dal-nya, dilalat(an), di dhammahkan dal-nya, dulalat(an), jika anda
menunjukkan seorang pembeli kepada penjual, maka orang tersebut adalah simsar
atau dallal (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual).8
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa samsarah
(makelar) adalah penengah antara penjual dan pembeli atau pemilik barang dengan
pembeli untuk melancarkan sebuah transaksi dengan imbalan upah (ujroh),
bonus atau komisi (ji'alah).
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
7Abdullah Abdulkarim, Broker/Pemakelaran (samsaroh) dalam
Islam, http://ocessss.
blogspot.com/2009/07/07/
brokerpemakelaran-samsarah-dalam-islam-html.
8Ibid, 2009/07/07
Di masa sekarang banyak orang yang disibukkan dengan
pekerjaan masing-masing, sehingga ada sebagian orang tidak memiliki waktu untuk
menjual barangnya atau mencari barang yang diperlukan. Sebagian orang lagi
mempunyai waktu luang, mempunyai keahlian untuk memasarkan (menjualkan), namun
tidak memiliki barang yang akan dijualkannya.
Untuk memudahkan kesulitan yang mereka hadapi, saat ini ada
orang yang berprofesi khusus menangani hal-hal yang dikemukakan di atas,
seperti biro jasa: di mana kedua belah pihak mendapat keuntungan (manfaat).
Biro jasa mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil
pekerjaannya, sedangkan orang yang memerlukan jasa mendapatkan kemudahan,
karena sudah di tangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya.
Dalam hal ini pihak biro jasalah yang bisa membantu dan
menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh pemilik barang tersebut, selain
pemilik barang dapat menyelesaikan masalahnya pihak biro jasa juga mendapat
lowongan kerja sehingga pemilik barang dan biro jasa mendapat keuntungan.
Pekerjaan samsarah / simsar berupa makelar,
distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam termasuk akad ijarah,
yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan.9 Al-ijarah
berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadhu (ganti). Dari
sebab itu ats tsawab (pahala) dinamai ajru (upah).10
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
9Agustianto, Multi Level Marketing dalam Perspektif Fiqih
Islam, http://m.ekonomiislam.
webnode.com/news/multi-level-marketing-dalam-perspektif-fiqih-islam/
10Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Mesir: Dar al- fikri
Arab, 1998, hlm.27.
Ijarah
secara sederhana diartikan dengan transaksi manfaat atau jasa dengan
imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa
dari suatu benda di sebut ijarat al-ain atau sewa–menyewa, seperti
menyewa rumah untuk di tempati bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat
atau jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarat al-zimmah atau
upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian. Keduanya disebut dengan satu
istilah dalam literatur Arab yaitu ijarah.9
Pemilik yang menyewa manfaat disebut mu'ajjir (orang
yang menyewakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut musta'jir
(orang yang menyewa–penyewa). Dan, sesuatu yang diakadkan untuk di ambil
manfaatnya disebut ma'jur (sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan
sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah (upah).
Ijarah baik dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk
upah mengupah itu merupakan mu'amalah yang telah disyari'atkan dalam Islam.
Hukum asalnya adalah boleh atau mubah bila dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang di tetapkan Islam.
Kebolehan praktek ijarah berdasarkan kepada ayat-ayat
al-Qur'an dan hadist Nabi SAW, Surat Ath-Thalaq : 6
ا سكنو هن حيث سكنتم من و جد كم ولا
تضا روهن لتضيقوا عليهن ٌ وان كن ا ولت حمل فا نفقوا عليهن حتى يضعن حملهن ج فا
ن ا ر ضعن لكم فا تو هن ا جو ر هن وا تمروا بينكم بمعروف صلى وا
ن تعا سر تم فستر ضع له اخرى
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
9Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Figh, Bogor: PT.
Prenada Media, 2003, hlm. 215
Artinya :
"Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya."
Berdasarkan ayat di atas, maka menyewa seseorang untuk
meyusukan anak adalah boleh, karena faedah yang diambil dari sesuatu dengan
tidak mengurangi pokoknya (asalnya) sama artinya dengan manfaat (jasa) dan yang
lebih penting lagi adalah setelah perempuan memberikan manfaat bagi anak yang
disusunya, jangan sampai tidak diberi upah, karena upah merupakan hak yang
wajib ditunaikan setelah pekerjaan tersebut selesai dilaksanakan.
Persoalan upah mengupah untuk sama-sama mengambil manfaat
dari suatu pekerjaan diperbolehkan, asalkan setelah pekerjaan selesai dilakukan
kemudian orang yang mengupah membayar imbalan yang setimpal. Artinya kerja sama
yang dilakukan dibolehkan selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan
dan menjauhi pengkhianatan.
Jadi pekerjaan samsarah dalam hal ini berhak menerima
imbalan setelah memenuhi akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa samsarah
harus segera memberikan imbalan tidak boleh menghanguskan atau
menghilangkannya. Karena hal-hal seperti itu sangatlah dibenci oleh Tuhan.
Surat Al-A'raf : 85
وا لى مد ين اخا هم ثعيبا قلى
قا ل يقوم ا عبد وا ا لله ما لكم من ا له غيره صل قد جا ء تكم بينة من
ربكم صل فاوفوا ا لكيل وا لميزا ن ولا تبخسوا ا لنا س ا شيا ء هم ولا
تفسد وا فى الارض بعد ا صلحها ج ذ لكم ان كنتم مومنينÇÑÎÈ
Artinya:
"Dan
(Kami Telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan[552] saudara mereka, Syu'aib. ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu.
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi
manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih
baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
Dan sesuai hadist Nabi :
ا عظو الا جير اجره قبل ا ن يجف عر قه10
Artinya:
"
Dari Ibnu umar bahwa Rasulullah bersabda , " Berikanlah upah
pekerja sebelum keringatnya kering. " ( HR.Ibnu Majah )
Hadist tersebut menjelaskan bahwa jangan pernah
menunda-nunda upah para pekerja, apabila mereka telah melakukan pekerjaan maka
bayarlah upah atau jerih payah mereka pada waktunya karena Allah paling benci
bagi orang yang menunda-nunda upah pekerja.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
10Abi
Fadhlu Ahmad, Bulughal Maram, Bairut: Banayatul Markaziyah, 1989, hlm.
192
Bila terdapat unsur kezaliman (dzulm) dalam pemenuhan
hak dan kewajiban, seperti seseorang yang belum menyelesaikan pekerjaannya
dalam batas waktu tertentu maka ia tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan
kerja yang telah dilakukan. Praktik samsarah seperti ini tidak benar,
karena sekalipun pekerjaan tersebut tidak diselesaikan pada waktu yang telah
ditentukan setidaknya para penyewa jasa tersebut menghargai jerih payah yang
dilakukan oleh pekerja tersebut yaitu dengan membayar setengah dari total upah
pekerja.
B.
Rukun dan Syarat Samsarah
Untuk sahnya aqad samsarah harus memenuhi beberapa
rukun yaitu :
1.
Al-Muta'aqidani (makelar dan pemilik
harta)
Untuk melakukan hubungan kerja sama ini, maka harus ada
makelar (penengah) dan pemilik harta supaya kerja sama tersebut berjalan lancar.
2.
Mahall al-ta'aqud (jenis transaksi yang
dilakukan dan kompensasi)
Jenis transaksi yang dilakukan harus diketahui dan bukan
barang yang mengandung maksiat dan haram, dan juga nilai kompensasi (upah)
harus diketahui terlebih dahulu supaya tidak terjadi salah paham.
3.
Al- shigat
(lafadz atau sesuatu yang menunjukkan keridhoaan atas transaksi
pemakelaran
tersebut.
Supaya kerja sama tersebut sah maka, kedua belah pihak
tersebut harus membuat sebuah aqad kerja sama (perjanjian) yang memuat hak-hak
dan kewajiban kedua belah pihak.
Secara praktis, pemakelaran terealisasi dalam bentuk
transaksi dengan kompensasi upah 'aqdu ijaroh atau dengan komisi aqdu
ji'alah. Maka syarat-syarat dalam pemakelaran mengacu pada syarat-syarat
umum 'aqad atau transaksi menurut aturan fikih Islam. Syarat-syarat umum
transaksi dapat diterapkan pada al-aqidani (penjual dan pembeli) dan al-shigat.
Sedangkan seorang makelar hanya dibebankan syarat al-tamyiz tanpa al-aqlu wal
bulugh seperti yang disyaratkan pada al-aqidani, sebab seorang makelar hanya
sebagai penengah dan tidak bertanggung jawab atas transaksi.
Adapun syarat-syarat mengenai mahall al-ta'aqud (objek
transaksi dan kompensasi), para ulama mensyaratkan objek transaksi yang legal
(masyru) dan kompensasi yang telah ditentukan (ma'lum). 11
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa syarat samsarah
(pemakelaran) adalah syarat-syarat umum transaksi dapat diterapkan pada
al-aqidani (penjual dan pembeli) dan shigat. Sedangkan seorang makelar hanya
dibebankan syarat tamyiz tanpa al-aqlu wal bulugh seperti yang disyaratkan pada
al-aqidani, sebab seorang makelar hanya sebagai penengah dan tidak bertanggung
jawab atas transaksi.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
11Abdullah Abdulkarim, Op. cit., 2009/07/07
Adapun hikmah adanya samsarah adalah dimana manusia
itu saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi kehidupannya. Banyak orang
yang tidak mengerti cara membeli atau menjual barang mereka. Maka dalam keadaan
demikian, diperlukan bantuan orang lain yang berprofesi selaku samsarah
yang mengerti betul dalam hal penjualan dan pembelian barang dengan syarat
mereka akan memberi upah atau komisi kepada makelar tersebut.
Seperti yang telah di uraikan di atas, jelaslah bahwa samsarah
itu merupakan suatu perantara perdangagan antara penjual dan pembeli. Pihak
samsarah berhak mendapat upah (gaji) dan berkewajiban bekerja semaksimal
mungkin sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dalam pemenuhan hak baik dari
pihak samsarah sendiri maupun dari pihak perusahaan. Kewajiban pihak perusahaan
adalah membayar upah para pekerja (simsar) dimana mereka telah bekerja
untuk perusahaan dengan semaksimal mungkin. Kegunaan adanya samsarah
adalah untuk mencegah adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Jumlah upah atau imbalan jasa juga harus dimengerti betul
oleh orang yang memakai jasa tersebut, jangan hanya semena-mena dalam pemenuhan
hak dan kewajiban, pihak pemakai jasa harus memberikan kepada makelar yaitu
menurut perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak untuk mencegah kekeliruan
atau kezaliman dalam pemenuhan hak dan kewajiban di antara mereka.
C.
Bentuk - Bentuk Kerja Sama dalam
Aqad Samsarah
Pada zaman modern ini, pengertian perantara sudah lebih
luas, termasuk jasa pengacara, jasa konsultan, tidak hanya mempertemukan orang
yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang
yang dicari dan menjualkan barang saja. Bentuk kerja sama dalam aqad samsarah
itu ada dua, yaitu bentuk kerja sama yang menjual barang dan bentuk kerja
sama yang menjual jasa, atau sama dengan ijarah.
Bentuk kerja sama yang menjual barang atau benda disebut ijarat
al-ain atau sewa menyewa, seperti menyewa rumah untuk ditempati oleh pihak
yang menyewa. Sedangkan bentuk kerja sama yang menjual jasa orang disebut ijarat
al-zimmah atau upah-mengupah, seperti upah menjahit pakaian atau upah
pengacara atau upah para pekerja di perusahaan-perusahaan swasta.
Dengan demikian tidak akan terjadi kemungkinan adanya
penipuan dan memakan harta orang lain (imbalan) dengan jalan haram. Apabila
barang yang nilainya tinggi, sebaiknya sudah ditetapkan uang imbalanya dan
ketentuan-ketetuan lainnya. Jika kesepakatan itu sudah ditandatangani, maka
semua pihak harus menepati , tidak boleh mungkir janji, sebagaimana firman
Allah :
يا يها ا لذ ين اوفوا ءا منوا با لعقد
...
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu ..(Qs al-Maidah: 1)
Telah berfirman :
ج وا وفوا با لعهد كا ن مسولا ....
Artinya:
...
dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan
jawabanya ( Qs al- isra : 34 )
Akad (perjanjian) yang dimaksudkan dalam ayat tersebut
adalah janji hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam
pergaulan sesamanya. Janji itu ada yang tertulis dan ada pula yang hanya dengan
lisan saja dan bahkan ada yang berpegang kepada adat-istiadat semata-mata. Hal
itu semua dipandang sebagai janji dan tidak boleh dipungkiri, sekiranya terjadi
pelanggaran, akan mendapat ancaman hukuman yang berat di akhirat kelak.
Adapun praktek pemakelaran, secara umum, hukumnya boleh,
berdasarkan hadist Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani :
خرج علينارسول الله صلم علئ- ونحن
نسمى السماسرة - فقال: يامعشرالتجار: إن الشيطان والاشم يحضران البيع, فشو
بوابيعكم بالصد قة.16
Artinya:
"
Suatu ketika, Rasulullah SAW Menemui kami – saat itu kami, para pedagang biasa
di panggil As-Samsirah (para makelar),- lalu beliau berseru, " Wahai
Tujjar (para pedagang), sesungguhnya syetan dan dosa selalu menghadiri
jual-beli, campurlah sedekah dalam jual-beli kalian,: (Shahih: Ibnu Majah).
Maksud dari hadits di atas adalah dimana syetan dan dosa
selalu menghadiri jual-beli, maka dari itu bersihkanlah jual beli kalian dengan
bersedekah supaya jual beli yang para pedagang lakukan tidak mengandung maksiat
dan haram.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
16Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi,
Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi, Jakarta : Pustaka
Azzam, 2006, hlm.3-4
Ulama' Mazhab Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam
kitabnya, al-Muthalli, telah menyatakan definisi makelar, yang dalam istilah
fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya
menyatakan: “Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan
bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang
berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang
terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah
'ala samsarah tidak diperbolehkan.![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
Maksud dari uraian di atas adalah dimana kedudukan seorang
makelar adalah sebagai orang tengah, dan apabila seorang makelar memakelari
makelar atau dalam istilah lain samsarah ala' samsarah yaitu makelar
menjual tiket kepada sesama makelar maka gugurlah kedudukannya sebagai orang
tengah.
C.
Pembagian Keuntungan dan
Pertanggungan Resiko
Upah makelar menurut undang-undang disebut provisi; dalam
praktek hal ini disebut courtage.17 Untuk menghindari jangan
terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka barang-barang yang akan ditawarkan
dan diperlukan harus jelas. Supaya tidak timbul salah paham, begitu juga dengan
imbalan jasa dan pembagian keuntungan harus di tetapkan lebih dahulu, apalagi nilainya
dalam jumlah yang besar. Biasanya, kalau nilainya besar ditandatangi perjanjian
di hadapan notaris.
Dalam masyarakat juga berlaku kebiasaan (adat-istiadat),
bahwa imbalannya tidak ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasanya yaitu
2,5 %
dari nilai transaksi. Ada juga yang
berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari pembeli.
17Achmad Ichsan, Lembaga Perserikatan, Surat-Surat
Berharga, Aturan-aturan Angkutan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993, hlm. 33
Kebiasaan semacam ini pun dapat dibenarkan oleh syariat,
sesuai kaidah hukum Islam.
العا دة محكمة18
" Adat kebiasaan itu, diakui sebagai sumber hukum."
Supaya tidak terjadi salah paham, maka pemilik barang dan samsarah
dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh
pihak samsarah. Boleh mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau
mengambil kelebihan dari harga yang di tentukan oleh pemilik barang, itu semua
tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Islam menyukai perdamaian, jadi supaya tidak ada yang
berselisih paham maka dari itu Islam menganjurkan untuk membuat sebuah
perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis supaya kerja sama yang mereka
lakukan akan bermanfaat dan memperoleh keuntungan. Sebagai landasan hukumnya
ialah sabda Rasulullah saw. :
أ لصلع جا ئز بين المسلمين , إلا صلحا
حرم حلأ لا, أؤأحل حراما, والمسلمون علئ شروطهم, إلآشر طاحرم خلألآ, أوأحل حراما19
Artinya:
"
Perdamaian antara kaum muslimin boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan
syarat yang mereka tetapkan, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram." (Shahih Sunan Tarmidzi)
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
18M.Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi Dalam Islam, Jakarta : PT Raja Garafindo, 2004, hlm.132
19Muhammad Nashiruddin Al-Alhani, Shahih Sunan Tirmidzi,
Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006, hlm.110
Maksud dari hadist di atas adalah kerja sama antara sesama
muslim itu halal kecuali kerja sama yang haram tapi di halalkan , seperti
menjual minuman keras dan narkotika, maka dari itu mereka harus berpegang
kepada syarat-syarat yang telah di tentukan di atas salah satunya obyek akad
bukan hal-hal yang maksiat atau haram.
Dalam sebuah kerja sama juga harus diantisipasi kemungkinan
barang rusak atau pailit. Kedua pihak harus menentukan siapa yang bertanggung
jawab dari kerusakan dan pailit tersebut. Demikian juga terhadap segala resiko
lain yang mungkin terjadi.
Menurut Subekti, kata resiko berarti kewajiban untuk memikul
kerugian kalau diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang
dimaksudkan dalam perjanjian.20 Sedangkan menurut pendapat lainnya,
resiko ialah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa,
yaitu peristiwa bukan karena kesalahan debitur, yang menimpa benda yang menjadi
obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi. Dengan
demikian, persoalan resiko ini adalah buntut dari suatu keadaan memaksa.
Pengaturan resiko dalam KUHPerdata adalah :
a)
Menurut Pasal 1237 KUHPerdata, dalam
hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu
semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si
berpiutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalain, kebendaan
adalah atas tanggungannya. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian
yang sepihak, seperti : perjanjian penghibahan dan perjanjian pinjam-pakai.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
20Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. I.
ed.rev Jakarta: Djambatan, 2005, hlm.144
b)
Menurut Pasal 1460 KHUPerdata, jika
kebendaan yang dipikul itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka
barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun
penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya. Pasal
ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian jual-beli.
c)
Menurut Pasal 1545 KUHPerdata, jika
suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah
pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa yang pihaknya
telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan
dalam tukar-menukar. Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian
tukar-menukar.
d)
Menurut Pasal 1553 ayat (1)
KUHPerdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah
karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.
Pasal ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian sewa-menyewa.21
Jadi makelar (samsarah) adalah hanya berfungsi
menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko,
dengan kata lain bahwa makelar (simsar) ialah penengah antara penjual
dan pembeli untuk memudahkan jual-beli. Makelar yang terpecaya tidak di tuntut
resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak sengaja
dan tidak akan merugikan sebelah pihak.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
21Op.Cit. hlm, 148
D.
Pengertian Agen
Menurut Sudarsono agen adalah (wakil, perantara), suatu
pihak yang bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli suatu produk
dengan imbalan komisi sebesar persentase tertentu dari total hasil
penjualannya.22
Berdasarkan penjelasan di atas agen adalah orang yang
bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual-beli dengan persentase komisi
dari total hasil penjualan. Persentase komisi tersebut telah disepakati oleh
pihak agen dan pemilik barang, apakah persentase dari total hasil penjualan
atau komisi yang berbentuk lain.
Menurut Yan Pramadya Puspa agen adalah wakil tetap, baik
yang ditunjuk ataupun tidak dari suatu perseroan dagang yang diberikan kuasa
(penuh) untuk melakukan transaksi-transaksi atas nama perseroan yang
diwakilinya.23
Maksud dari penjelasan di atas adalah wakil tetap yang
ditunjuk maupun yang tidak ditunjuk langsung dari perusahaan, yang memberikan
kuasa penuh untuk melakukan transaksi jual-beli atas nama perusahaan yang
diwakilinya tersebut, dengan maksud transaksi yang mereka lakukan akan berjalan
lancar seperti yang diinginkan pihak perusahaan.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
22Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank,
Jakarta: PT. Rineka Cipta , 1994, hal. 12
23Yan Pramdya Puspa, Kamus Hukum, Bahasa Balanda,
Indonesia, Inggris, edisi lengkap Semarang, CV. Aneka, hal. 48-49
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agen adalah orang atau
perusahaan perantara yang mengusahakan penjualan bagi perusahaan lain atas nama
pengusaha, perwakilan, kaki tangan atau mata-mata negara asing, wakil pengusaha
yang merundingkan, memberikan jasa layanan, atau menutup perjanjian asuransi
dengan ketentuan yang ada.24
Menurut Abdul Rasyid Saliman jasa keagenan adalah usaha jasa
perantara untuk melakukan suatu transaksi bisnis tertentu yang menghubungkan
produsen di satu pihak dan konsumen di lain pihak.25
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa agen merupakan wakil yang di tunjuk atau tidak dari suatu
perseroan dagang untuk melakukan transaksi jual-beli dengan imbalan komisi sebesar
persentase yang telah ditentukan dari total hasil penjualan yang mereka
lakukan.
Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai
suatu hubungan hukum, dimana pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas
nama pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain.
Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu keagenan adalah adanya
wewenang yang dimiliki oleh agen yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal
(pihak asing).26
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
24Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahas Indonesia, ed.3,
cet.2 Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm.12
25Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan :
teori dan contoh kasus, ed.2, cet.2 Jakarta: Kencana , 2006, hlm.68
26Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Islam,
cet.2 Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003, hlm.53
Dalam hal ini apabila agen bertindak melampaui batas yang
telah diberikan pihak principal, maka pihak agen sendiri yang
bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka, apabila tindakan yang
dilakukan oleh agen masih dalam batas perjanjian yang disepakati maka
pihak principal akan bertanggung jawab.
Dalam
perjanjian bisnis, agen dan principal biasanya membuat sebuah kontrak kerja
tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para
pihak tersebut. Isi dari kontrak kerja diserahkan kepada para pihak asal tidak
bertentangan dengan hukum dan kesusilaan seperti yang tercantum dalam pasal
1388 KUHPerdata, yaitu pembayaran yang dilakukan oleh seorang berutang kepada
orang yang memberi utang, tak sah seseorang perutang melakukan perlawanan
apabila si pemberi utang melakukan penyitaan karena itu hak si pemberi utang
untuk memaksa dan menagihnya kembali.27
Adapun maksud dari Pasal 1388 adalah suatu ketika pihak
prinsipal melakukan penyitaan atau pencabutan barang (tiket), maka pihak agen
tidak boleh melakukan perlawanan karena hak prinsipal untuk melakukan
penyitaan.
Adakalanya prinsipal dan agen membuat sebuah perjanjian
sederhana yang memuat pokok-pokok saja seperti hak dan kewajiban para pihak,
tetapi tidak sedikit dari mereka yang membuat perjanjian secara terperinci.
Membuat perjanjian yang terperinci tidaklah mudah, tetapi perjanjian yang
terperinci tersebut akan memper kecil kemungkinan untuk salah menafsirkan isi
perjanjian.28 Intinya perjanjian terperinci memperkecil
kemungkinan untuk salah paham antara kedua belah pihak sangat kecil dan
mencegah timbulnya kecurangan yang akan merugikan salah satu pihak.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
27Benoe Satryo Wibowo, Himpunan Peraturan Perundangan
Ketenaga Kerjaan, ed.11, Yogyakarta, Andi Offset, 2003, hlm.158
28Ibid., hlm. 53.
Dalam praktek perjanjian yang diadakan kedua pihak ternyata
terdapat 3 kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu :
1.
Dinyatakan bahwa masing-masing pihak
baik prinsipal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atas seluruh
hak dan kewajibannya, tanpa adanya persetujuan dari pihak lain.
Maksudnya
adalah baik pihak principal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian
atau seluruh hak dan kewajiban dari masing-masing pihak tanpa persetujuan dari
pihak agen dan principal lainnya.
2.
Prinsipal boleh mengalihkan apa yang
menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, tetapi agen tidak boleh.
3.
Prinsipal boleh mengalihkan apa yang
menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, akan tetapi agen hanya
diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan kewajibannya apabila diperoleh
persetujuan dari pihak prinsipal.29
Maksud dari variasi di atas adalah prinsipal tersebut boleh
mengalihkan hak dan kewajibannya pada pihak lain, tetapi apabila agen yang
ingin mengalihkannya maka harus meminta persetujuan dari pihak prinsipal,
seandainya tidak ada persetujuan dari pihak prinsipal maka pihak agen tidak
bisa mengalihkannya kepada pihak lain.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
29Ibid., hlm.
55
Biasanya dalam perjanjian kerja sama tersebut kedua belah
pihak merumuskan secara jelas peristiwa apa-apa saja yang menjadi perselisihan
(events of defaults) antara mereka untuk memutuskan perjanjian, yang
dikategorikan events of defauls adalah :
a.
Apabila agen lalai melaksanakan
kewajibannya, sebagaimana tercantum pada perjanjian keagenan termasuk kewajiban
melakukan pembayaran.
b.
Apabila agen melaksanakan apa yang
sebenarnya tidak boleh dilakukan
c.
Apabila para pihak jatuh pailit
d.
Keadaan-keadaan lain yang
menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi
kewajiban-kewajibannya.
Pada intinya kerja sama dapat diputuskan dengan beberapa
sebab atau masalah yang telah disebutkan di atas. Bila para pihak ingin
memutuskan perjanjian, maka mereka tetap harus memperhatikan ketentuan yang ada
dalam Pasal 1266 KUHPerdata, yang menentu “pembatalan suatu perjanjian hanya
dapat dilakukan setelah adanya keputusan pengadilan. 30
Dengan kata lain apabila seorang prinsipal ingin memutuskan
hubungan kerja sama (perjanjian) dengan pihak agen, tidak cukup hanya dengan
mengirimkan pemberitahuan secara tertulis. Tetapi principal harus
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang berwewenang, setelah itu harus
menunggu adanya keputusan pengadilan yang membenarkan dilakukannya pemutusan
perjanjian keagenan.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
30Ibid., hlm. 55
Dalam praktiknya, para pihak seringkali menghindari prosedur
tersebut, dan mengenyampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata.
Dengan alasan mereka dapat melakukan pemutusan perjanjian keagenan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang mereka perjanjikan dalam perjanjiannya.
Dalam praktek perdagangan dijumpai apa yang dikenal dengan
nama agen perdangangan, yaitu seorang atau suatu perusahaan yang bertindak
sebagai penyalur untuk menjualkan barang-barang keluaran perusahaan lain,
umumnya perusahaan luar negeri dan biasanya mereka mempunyai hubungan tetap.
Hubungan ini dapat berupa :
1.
Perusahaan membeli barang-barang itu
untuk perhitungannya sendiri dengan mendapatkan komisi dan kemudian menjualnya
kembali.
2.
Prusahaan itu merupakan wakil dari
perusahaan yang memproduksi barang-barang itu.
3.
Perusahaan itu bertindak sebagai
penyalur untuk menemui pembelinya dan mengusahakan suatu penawaran pembelian.31
Maksud hubungan tetap disini adalah hubungan kerja sama
antara pihak agen dengan perusahaan yang memproduksikan barang-barang tersebut,
pihak agen menjadi wakil dari perusahaan (principal) dan mereka
mendapatkan komisi (upah). Hal ini sejalan dengan isi Undang-Undang
Perlindungan Upah, pasal 1 Nomor 8 Tahun 1981, menjelaskan bahwa :
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
31Achmad Ichsan, Hukum Dagang, lembaga Perserikatan,
Surat-surat Berharga, Aturan-aturan Angkutan, cet.5 Jakarta, Pradnya
Paramita, 1993, hlm.45
a. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha
kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu
persetujuan, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk
buruh sendiri maupun keluarganya.
b.
Pengusaha ialah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu
perusahaan milik sendiri.
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan termasuk pada orang 1 dan 2, yang berkedudukan di luar
Indonesia.32
Maksud dari pasal tersebut adalah dimana para pengusaha
wajib membayar upah para buruh atas pekerjaan yang telah mereka lakukan atau
pekerjaan yang akan mereka lakukan. Upah tersebut berbentuk uang dimana
persentasenya di tetapkan atas persetujuan kedua belah pihak atau menurut
peraturan undang-undang
Selanjutnya Undang-Undang Perlindungan Upah, pasal 12 Nomor
8 Tahun 1981 menjelaskan :
1.
Pada dasarnya upah diberikan dalam
bentuk uang.
2.
Sebagian dari upah dapat diberikan
dalam bentuk lain kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan,
dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari
nilai upah yang seharusnya diterima.33
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
32Benoe Satriyo Wibowo, Himpunan Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan,
ed.II Yogyakarta, Andi Offset,2003, hlm. 158
33Ibid.,
, hlm. 161
Dari penjelasan di atas, upah dapat berbentuk uang dan dapat
juga diberikan dalam bentuk lain seperti sembako, adapun waktu pembayaran harus
tepat tidak boleh menunda-nundanya.
Adapun hubungan hukum antara agen dengan principal merupakan
hubungan yang dibangun melalui mekanisme layanan lepas jual, disini hak milik
atas produk yang dijual oleh agen tidak lagi berada pada principal melainkan
sudah berpindah kepada agen, karena prinsipnya agen telah membeli produk dari principal.34
Maksud dari penjelasan di atas adalah hubungan hukum antara
agen dan principal adalah hubungan yang dibangun melalui mekanisme lepas
jual. Maksudnya pihak agen membeli produk (tiket) di perusahaan penerbangan,
disini hak milik atas tiket yang dijual oleh agen tidak menjadi milik perusahaan
penerbangan, melainkan hak milik agen karena prinsipnya agen telah membeli di
perusahaan penerbangan.
E.
Relevansi antara Konsep Samsarah dan
Konsep Agen dalam Hukum Perdata
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
34Abdul R. Saliman, Hermansyah dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis
Untuk Perusahaan, teori & contoh kasus, ed.II, cet.II
Jakarta,Kencana, 2006, hlm. 68
35Abdullah dan Alwi Haji Hassan, Sales and Contracs In
Early Islamic Commercial Law, Islamabad: Islamic Research Institute, 1994,
hlm, 96-97.
Relevansi antara konsep samsarah dan konsep agen
adalah perantara pada masa Rasul (samsarah) hanya berfungsi menjualkan
barang milik orang lain dengan diberi upah, upah pada masa itu tidak ditentukan
dan hanya berlaku sebagaimana biasanya, yaitu 2,5 % dari nilai transaksi, ada
juga yang berlaku 2,5 % dari penjualan dan 2,5 % dari pembeli, keadaan seperti
ini disebut dengan adat-istiadat. Supaya tidak terjadi salah paham, maka
pemilik barang dan samsarah dapat mengatur suatu syarat tertentu
mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak samsarah. Boleh
mengambil dalam bentuk persentase (komisi) atau mengambil kelebihan dari harga
yang ditentukan oleh pemilik barang, itu semua tergantung kesepakatan kedua
belah pihak.
Sedangkan perantara pada masa sekarang (agen) adalah mereka
menggunakan sistem deposit atau dalam istilah hubungan hukum keagenan yang
bearti mekanisme layanan lepas jual, artinya pihak agen harus membeli tiket
terlebih dahulu ke pihak perusahaan penerbangan setelah itu barulah pihak agen
bisa menjualkan kembali kekonsumen. Dalam hubungan hukum keagenan telah
disebutkan bahwa hak milik atas produk yang dijual oleh agen tidak lagi berada
pada principal melainkan sudah berpindah kepada agen, karena pada prinsipnya
agen telah membeli produk dari principal.36
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
36Op. Cit., hlm.68
Tetapi pada kenyataan sekarang ini
tidaklah seperti itu, pihak agen travel telah membeli tiket ke perusahaan
penerbangan tetapi pihak agen tidak bisa memegang secara penuh atas hak tiket
tersebut. Harga dan komisi ditetapkan oleh perusahaan penerbangan, komisi yang
diberikan oleh perusahaan penerbangan pada saat ini adalah sebesar persentase
dari total hasil penjualan.
Makelar yang terpecaya tidak dituntut resiko sehubungan
dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak disengaja dan tidak akan
merugikan sebelah pihak. Sedangkan agen adalah suatu pihak yang bertindak
sebagai perantara dalam transaksi jual-beli suatu produk dengan imbalan komisi
sebesar persentase tertentu dari total hasil penjualannya.37
Dalam hubungan kerja sama antara pihak agen dan perusahaan
penerbangan, apabila pihak agen bertindak melampaui batas yang telah diberikan
oleh perusahaan penerbangan, maka pihak agen sendiri yang bertanggung jawab
atau menanggung resiko atas tindakan-tindakan mereka. Apabila tindakan yang
dilakukan oleh agen masih dalam batas perjanjian yang disepakati maka pihak
perusahaan penerbangan akan bertanggung jawab.
Dalam konsep samsarah tidak ada yang namanya jaminan,
karena bentuk kerja sama yang mereka lakukan adalah bentuk kerja sama
perantara, dimana pihak samsarah hanya berkewajiban menjualkan barang
milik pedagang bukan menanam modal sehingga tidak dibutuhkan sebuah jaminan.
![](file:///C:\Users\Zul\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
37Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank,
(Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1994), hlm, 12
Dari uraian-uraian di atas bisa
disimpulkan bahwa konsep samsarah pada masa Rasul dengan konsep agen
sekarang sudah banyak yang berubah, yaitu konsep samsarah pada masa
rasul mereka hanya berfungsi menjualkan barang orang lain dengan diberikan
upah. Sedangkan konsep agen sekarang menggunakan sistem deposit atau dalam hukum
keagenan disebut dengan mekanisme lepas jual yang artinya pihak agen harus
membeli terlebih dahulu tiket setelah itu barulah dijual ke konsumen.
Pada masa Rasul mereka tidak mengenal kontrak kerja, maka
dari itu mereka tidak membuat kontrak kerja dan mereka berprinsip kepada saling
percaya dan yakin. Sedangkan sekarang sudah mempunyai ilmu pengetahuan, maka
dari itu mengapa tidak membuat kontrak kerja baik yang tertulis atau lisan
sehingga tidak akan menyebabkan perselisihan paham di kemudian hari. Pada jaman
yang moderen inipun kontrak kerja tidak hanya bisa dengan lisan, tetapi harus
dengan tulisan yang mempunyai saksi, sehingga jika suatu saat terjadi pailit
atau salah paham maka kedua belah pihak mempunyai bukti yang hitam di atas
putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar