Minggu, 06 Maret 2016

Makalah MUamalah Iqtisodiyah tentang RISYWAH (SUAP)

MAKALAH MUAMALAH IQTISODIYAH 1
RISYWAH (SUAP)



OLEH
KELOMPOK 1
ZULKIFLI LIHAWA (201510510311039)
MOHAMMAD WIRA (201510510311049)
FITRATUL AKBAR (201510510311067)


DOSEN : BPK. MOCHAMAD NOVI RIVAI, SHI, MA







EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016


KATA PENGANTAR



Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Segala puji bagi Allah SWT,karena hanya dengan ijin dan kuasanyalah,kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Riswah (Suap)” dengan tepat waktu.Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Muamalah Iqtisodiyah 1. 
Tak lupa pula,Sholawat serat salam marilah kita hanturkan kepada baginda Rasulullah SAW,karena dengan perantara beliaulah kita di pandu dari zaman kebodohan,zaman kebatilan,menuju zaman penuh dengan cahaya ilmu pengetahuan.
Kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah berperan dalam membantu penyelesaian makalah ini. Terutama kepada dosen mata kuliah “Muamalah Iqtisodiyah 1” Bpk. Mochamad Novi Riva’I . SHI, MA  yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini,dalm hal pemberian materi mengenai Riswah (Suap).
Kami menyadari Makalah ini jauh dari kata sempurna,karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Maka dari itu jika dalam makalah ini ada kesalahan,kami meminta agar pembaca dapat memberikan saran yang bersifat membangun,demi kesempurnaan makalah ini.
Atas perhatiannya di ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Malang,1 Maret 2015


Penulis


DAFTAR ISI





BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kita tentunya banyak dan sering mengikuti perkembangan bangsa Indonesia, baik  dari media cetak maupun elektronik, berita-berita di televisi, radio dan internet yang tak pernah sepi dari membahas permasalahan-permasalahan bangsa yang tak kunjung selesai sampai saat ini.
Permasalahan bangsa berupa korupsi, suap/risywah, penyalahgunaan wewenang menjadi topik hangat yang sering didiskusikan, dibahas dan diberitakan.
Larinya tahanan dan para koruptor keluar dari penjara, dengan menikmati hiburan bahkan jalan-jalan keluar negeri dengan menyuap pejabat yang berwenang tampaknya suatu hal yang biasa dan ringan. Prilaku suap tidak saja dilakukan oleh orang biasa, tetapi sudah merambah dan membudaya dikalangan pejabat publik. Sentra-sentra yang rawan korupsi dan terjadinya penyuapan sudah diketahui oleh rakyat, mulai birokrasi, DPR/DPRD, Bupati/Walikota, parpol, penegak hukum( hakim, jaksa, polisi  ) sampai lembaga swasta. Yang lebih parah lagi, para pemangku jabatan publik tidak segan-segan membuka diri menerima suap, dan tanpa menghiraukan meskipun KPK sudah sering menagkapnya, seakan-akan mereka tidak takut terhadap ancaman hukuman sekalipun.
Untuk menyelamatkan bangsa dari praktek suap dan korupsi perlu ada komitmen bersama, khususnya antara penegak hukum, untuk bertindak tegas dalam kasus suap dan korupsi ini, karena hal itu merupakan ancaman sangat serius bagi kelangsungan bangsa.
Di Cina bukan tidak ada suap dan korupsi, tetapi tidak dibiarkan menjadi suatu kewajaran dengan sanksi yang keras. Di Cina dan bahkan juga di Korea Selatan praktek suap menyuap dan korupsi dianggap sebagai suatu yang nista. Pelakunya benar-benar dinistakan, dihilangkan harga dirinya meski seorang Presiden.
Di Indonesia sebaliknya, suap menyuap dan korupsi justru dianggap wajar sehingga siapapun yang punya kesempatan akan melakukan. Hukuman untuk penyuap dan yang disuap, serta para koruptor masih terlalu ringan, sehingga menyebabkan korupsi dan suap menyuap tambah subur dan tanpa rasa malu.





1.2 RUMUSAN MASALAH

a)      Apa pengertian riswah ?
b)      Apa dasar hukum riswah ?
c)      Bagaimana sejarah riswah ?
d)     Bagaimana cara penanggulangan riswah pada masa sahabat ?
e)      Bagaimana problematika penanganan riswah saat ini ?

1.3 TUJUAN MAKALAH

a)      Untuk mengetahui apa pengertian dari riswah
b)      Untuk mengetahui apa saja dasar hukum riswah
c)      Untuk mengetahui sejarah riswah 
d)     Untuk menahami bagaimana cara penanggulangan riswah pada masa sahabat
e)      Untuk memahami bagaimana problematika penanganan riswah saat ini 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN RISWAH

Riswah berasal dari kata rosyaa-yarsyuu-risywatan yang berarti menyuap atau penyuapan.[1]Dalam bahasa Indonesia, kata  menyuap-penyuapan adalah memasukkan nasi ke dalam mulut dengan menggunakan tangan atau sendok. Namun demikian,  yang dimaksud dengan penyuapan dalam bahasa politik dan birokrasi adalah pemberian seseorang kepada orang lain dengan maksud-maksud tertentu seperti, ingin menjadi pegawai atau mendapatkan kenaikan jabatan baru, ingin mendaptakan keringanan hukuman atau melepaskan diri dari jeratan hukum yang sedang menimpanya, ingin mendapatkan dukungan atau suara dalam pemilihan calon Presiden, Anggota Dewan, Gubernur, Walikota/Bupati, lurah dan lain sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan Riswah menurut para ulama dan ahli bahasa dalam Kamus Al-Misbahul Munir dan Kitab Al-Muhalla Ibnu Hazm adalah pemberian yang diberikan  seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya dengan cara yang tidak dibenarkan (bathil).[2] Sedangkan menurut Kitab Lisanul Arab dan Mu’jamul Wasith yang dimaksud dengan riswah adalah pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu. Maka, berdasarkan definisi tersebut di atas, Riswah mengandung anasir sebagai berikut : Pertama, Pemberian (athiyyah), Kedua, untuk menarik simpati orang lain (istimalah), Ketiga, bertujuan membatalkan kebenaran(ibtholul haq), Keempat, merealisasikan kebathilaln (ihqoqul bathil), Kelima, mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan (almah-subiyah bighoiril haq), Keenam,mendapatkan kepentingan yang bukan haknya (al hushul ‘alal manafi’) dan Ketujuh, memenangkan perkaranya (al hukmu lahu).


2.2 DASAR HUKUM RISWAH

Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:

Firman Allah ta’ala:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ


”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)

Firman Allah ta’ala:

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT.[3]

Rasulullah SAW bersabda:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).

Nabi Muhammad SAW bersabda:

«كلّ لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»
“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”, “Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.

2.3 SEJARAH RISWAH


2.3.1 SEJARAH SUAP DI DUNIA
Sejarah mencatat bahwa suap (Risywah) bukanlah hal yang baru, suap telah menjadi bagian dari masyarakat sejak manusia bahkan lebih tua dari waktu (jr.darity,2008). Pandangan lain mengatakan bahwa suap-menyuap itu muncul sejak lahirnya peradaban, meskipun bentuk-bentuk suap yang dilakukan pada waktu itu berbeda dengan suap yang ada di era sekarang ini (ray, 2006). Perbedaan latar belakang sejarah, persepsi masyarakat, praktik pemerintahan, teknologi baru, dan perubahan lingkungan ekonomi politik global-jika ditelusuri, suap yang dilakukan para penguasa memiliki substansi yang sama, yaitu pemberian kepada orang lain, dengan tujuan tertentu.
2.3.2 SEJARAH SUAP (Risywah) DI INDONESIA
Risywah di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas Risywah, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar suap yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya suap” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragediyang teramat dahsyat.


Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi suap” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi suap berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah suap dan Kekuasaan diIndonesia.
Belanda memahami betul akar “budaya suap” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaanyang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja suap dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku “suap” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “menyuap”, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebihdari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saranyang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspekekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun,yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.

Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah “budaya suap” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya suap” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.Titik tekan dalam persoalan suap sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas suap. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan tindak pidana suap dan korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan suap. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas suap dan korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi suap dan korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “suap” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

2.3.3 SEJARAH RISYWAH DAN KORUPSI PADA ZAMAN NABI
Risywah dan pemberantasanya pada masa nabi secara tipologis terdapat dua bentuk baik yang pernah terjadi atau yang mewacana pada masa nabi SAW. yaitu korupsi ghanmah dan non ghanimah. Korupsi ghanimah disini adalah korupsi mantel, manik manik, dan tali sepatu. Sedangkan korupsi non ghanimahadalah berupa memberi “hadiah” pejabat public, mengambil kekayaan public, mengambil uang diluar gaji resmi, menggelapkan hasil pekerjaan, dan mengambil tanah.

2.4 CARA PENANGGULANGAN RISWAH PADA MASA SAHABAT

Para Sahabat dalam menangani kasus kasus korupsi tidak pernah melakukan pendekatan kriminalisasi terhadap pelaku korupsi pada zamanya, mayoritas untuk tidak mengatakan langkah langkah yang kedepankan sahabat adalah berupa langkah teologi moralitas atau moral psikologis. [4]
Para Sahabat lebih banyak melakukan pembinaan moral dengan menanamkan kesadaran untuk menghindari perbuatan korupsi dan mengingatkan hukuman akhirat yang akan ditimpakan. Dalam banyak kesempatan, sahabat juga sering mengingatkan pesan nabi SAW bahwa koruptor akan masuk neraka walaupun nominalnya sangat kecil, seperti seutas tali sepatu atau sebuah mantel.
Dan pada kesempatan lain sahabat juga melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat yang sudah selesai melakukan tugas. Tindakan para sahabat ini, merupakan bentuk melanjutkan dakwah Rasulullah dalam memberantas korupsi dan suap.semua yang di lakukan para sahabat dalam menberantas suap dan korupsi, selain di lakukan dengan jalur hukum, didekati pula dengan pendekatan moral. Hal ini karena, secara psikologis, orang melakukan korupsi adlah orang yang jiwanya sedang sakit. Nilai dan kualitas kemanusiaanya sedang terjatuh pada level hewani dan orientasi hidupnya hanya mengejar kesenangan dan kepuasan material semata.

2.5 PROBLEMATIKA PENANGANAN RISWAH SAAT INI

Dalam pemberantasan risywah ada dua strategi yang menjadi substansi utama untuk mengurangi risywah. (1). Cara prevensi, yaitucara untuk mencegah risywah sehingga tidak terjadi. (2). Cara represif, yaitu melakukan tindakan pada pelaku suap, dimana menjatuhkan berbagai hukuman yang berat bagi sang pelaku tersebut sehingga jerah dan tidak mengulangi perbuatan suap tersebut.[5]
Pemberantasan suap menyuap dengan cara prevensif atau pencegahan akan lebih efektif, karena memberikan opsi bagaimana perbuatan suap itu dilawan atau ditantang agar tidak berkembang pada penguasa dan lembaga-lembaga kekuasaan. Prevensi terhadap suap juga dapat berhasil jika membangun dan mengambil model prevensi pada Negara tertentu yang telah berhasil mencegah suap jika memang ada. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam hal mencegah suap yaitu:
-Independent commission against corruption(ICAC). Dimana  prevensi suap melalui semua jalur media, ikut serta masyarakat dalam pemberantasan tindakan suap menyuap, integritas kejujuran hakim dan ditujukan pada sector public dan swasta.
-Corrupt practice investigation bureau (CPIB).yakni prevensi suap menyuap dilakukan dalam benar-benar menegakkan hukum tanpa pamrih, model seperti ini berhasil dilakukan di hongkong.
-Badan pencegah rasuah (BPR) di Malaysia, cara mencegah suap dengan ketegasan dan berlandaskan pada nilai-nilai moral, penegakan aturan, adanya komitmen dan pejabat yang amanah.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sebagai kesimpulannya bahwa hukum apa saja tidak ada yang membolehkan praktik korupsi adapun itu hukum positif, hokum adat, lebih-lebih lagi hukum agama, khususnya islam sangat melarang korupsi, dan mengganjar pelakunya dengan hukuman dunia dan akhirat. Korupsi apapun bentuknya, baik itu suap, maupun pemberian hadiah merupakan hal-hal sangat merugikan bagi umat dan haram hukumnya. Korupsi hanya akan membunuh masa depan masyarakat dan negara secara perlahan namun pasti.

3.2 SARAN

Kami menyarankan kepada pembaca untuk dapat berpikir secara bijaksana di dalam menanggapi berbagai fenomena yang ada saat ini, seperti halnya korupsi. Korupsi saat ini bisa saja ditemukan dalam berbagai bentuk dan cara yang sangat halus sehingga terkadang tanpa disadari hal-hal yang dianggap sepele pun sebenarnya sudah tergolong ke dalam tindakan suap dan korupsi.

DAFTAR PUSTAKA


Rahman, A. 1996.  Muamalah. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.

Budi Utomo, Setiawan. 2003. Fiqh Aktual. Jakarta: GEMA INSANI PRESS.

Irfan, Nurul. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta: AMZAH.

Irfan, Nurul. 2012. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. jakarta: AMZAH.

risywah.Pdf)




















[1] Irfan, Nurul. 2012.  Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: AMZAH. Hlm. 89.
[2] Irfan, Ibid. hlm. 91.
[3] Irfan, Ibid. hlm. 96.
[4]Budi Utomo, Setiawan. 2003. Fiqh Aktual. Jakarta:GEMA INSANI PRESS. Hlm.21.

[5] Budi Utomo,ibid. hlm 22.