HAWALAH
Secara bahasa pengalihan hutang
dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil,
artinya adalah memindahkan dan mengalihkan[2].
Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang
dari tanggunganmuhil (orang yang berhutang) menjadi
tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran
hutang)[3].
لغة : النقل من محل إلى محل
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para
Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hanafi, yang dimaksud
hiwalah[4]
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة
الملتزم
“Memidahkan tagihan dari tanggung
jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang
menjadi tanggung jawab orang lain”.
3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan
Hiwalah adalah:
عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari
seseorang kepada yang lain”.
4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang
dimaksud Hiwalah adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban
seseorang menjadi beban orang lain”.
5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال
عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.
6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
إنتقال الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari beban seseorang
menjadi beban orang lain”.
7. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud
dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi
tanggunggan muhal ‘alaih.
8. Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab
qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang
lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
B. DASAR HUKUM HAWALAH
1. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
مطل ا
لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat pembayaran
hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah
seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah
ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
Pada hadits ini Rasulullah
memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang
menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima
hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang
dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi
(dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab
Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya
wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka
mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu
bersifat sunnah.
2. Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan
pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah
perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.
C. RUKUN HAWALAH
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan
melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah)
dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada
enam yaitu:
1. Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2. Pihak kedua, muhal atau
muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3. Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال
عليه):
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar
hutang kepada muhtal.
4. Ada hutang pihak
pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال
به):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5. Ada hutang pihak ketiga
kepada pihak pertama
Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighoh (pernyataan
hiwalah).
D. SYARAT-SYARAT HAWALAH
Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan
Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
Persyaratan yang berkaitan dengan
Muhil, ia disyaratkan harus, pertama,
berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika
ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak
kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang
bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan
karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia
dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama
untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh
Muhil ketika diadakan akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan
untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh
Muhil. Kedua,
kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia
bersedia menerima akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal
Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama
bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena
tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di
luar majlis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan
hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua,hutang
tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa
dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan[5].
E. JENIS-JENIS
HAWALAH
Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh
dan hawalah Muqoyyadah.
a. Hawalah
Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (
orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari
pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan
A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang
pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab
Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini
sebagai kafalah.
b. Hawalah Muqoyyadah terjadi
jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang
terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz)
berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari
satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk
barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia
mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang
berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini
terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada
orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada
hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah
diterangkan di depan.
F. HAKIKAT HAWALAH
Kalangan
Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah pengecualian dalam
transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia
sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap
sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan
Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya : jika salah seorang
dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari
dan Muslim)
Yang
sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah adalah murni transaksi irfaq (memberi
manfaat) bukan yang lainnya[6].
Ibnu al-Qayyim berkata, “Kaidah-kaidah syara’ mendukung
dibolehkannya hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas[7]
G. UNSUR KERELAAN DALAM HAWALAH
1. Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat
bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam
hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat
dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya.
Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah,
sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang
berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak
membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu
dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini
kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajibanmuhal
(orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih
kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda
pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar
hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal
‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya,
semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
2. Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat
bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang
artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya
kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di
samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau
mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal
‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan
urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi
kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya
kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah
yang sama kepada siapa saja dari keduanya[8].
H. BEBAN MUHIL SETELAH HAWALAH
Apabila hawalah berjalan
sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih
mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal
tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila
muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki
sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil.
Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain,
kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum
membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil[9].
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam
keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang
yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya[10].
I. KEDUDUKAN
HUKUM HAWALAH
Pertama, jika hawalah telah disetujui oleh semua
pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan
utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya akad hawalah,
maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan
demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.
J. BERAKHIRNYA
AKAD HAWALAH
Akad hawalah akan berakhir
oleh hal-hal berikut ini.
1. Karena
dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai
tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan
kembali lagi kepada Muhil.
2. Hilangnya
hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya
akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika
Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad
hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4. Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5. Jika
Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
6. Jika
Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar