MAKALAH MUAMALAH IQTISODIYAH 1
RISYWAH (SUAP)
OLEH
KELOMPOK 1
ZULKIFLI LIHAWA (201510510311039)
MOHAMMAD WIRA (201510510311049)
FITRATUL AKBAR (201510510311067)
DOSEN : BPK. MOCHAMAD NOVI RIVAI, SHI, MA
EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakaatuh.
Segala puji bagi Allah SWT,karena hanya dengan ijin dan kuasanyalah,kami
dapat menyelesaikan makalah tentang “Riswah (Suap)” dengan tepat waktu.Makalah
ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Muamalah Iqtisodiyah 1.
Tak lupa pula,Sholawat serat salam marilah kita hanturkan kepada baginda
Rasulullah SAW,karena dengan perantara beliaulah kita di pandu dari zaman
kebodohan,zaman kebatilan,menuju zaman penuh dengan cahaya ilmu pengetahuan.
Kami mengucapkan
terimakasih kepada pihak yang telah berperan dalam membantu penyelesaian makalah
ini. Terutama kepada dosen mata kuliah “Muamalah Iqtisodiyah 1” Bpk. Mochamad
Novi Riva’I . SHI, MA yang telah
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini,dalm hal pemberian materi mengenai
Riswah (Suap).
Kami menyadari Makalah ini jauh dari kata sempurna,karena kesempurnaan
hanyalah milik Allah SWT. Maka dari itu jika dalam makalah ini ada
kesalahan,kami meminta agar pembaca dapat memberikan saran yang bersifat
membangun,demi kesempurnaan makalah ini.
Atas
perhatiannya di ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakaatuh.
Malang,1 Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kita tentunya banyak dan sering mengikuti perkembangan bangsa Indonesia,
baik dari media cetak maupun elektronik,
berita-berita di televisi, radio dan internet yang tak pernah sepi dari
membahas permasalahan-permasalahan bangsa yang tak kunjung selesai sampai saat
ini.
Permasalahan
bangsa berupa korupsi, suap/risywah, penyalahgunaan wewenang menjadi topik
hangat yang sering didiskusikan, dibahas dan diberitakan.
Larinya tahanan dan para koruptor keluar dari penjara, dengan menikmati
hiburan bahkan jalan-jalan keluar negeri dengan menyuap pejabat yang berwenang
tampaknya suatu hal yang biasa dan ringan. Prilaku suap tidak saja dilakukan
oleh orang biasa, tetapi sudah merambah dan membudaya dikalangan pejabat
publik. Sentra-sentra yang rawan korupsi dan terjadinya penyuapan sudah
diketahui oleh rakyat, mulai birokrasi, DPR/DPRD, Bupati/Walikota, parpol,
penegak hukum( hakim, jaksa, polisi )
sampai lembaga swasta. Yang lebih parah lagi, para pemangku jabatan publik
tidak segan-segan membuka diri menerima suap, dan tanpa menghiraukan meskipun
KPK sudah sering menagkapnya, seakan-akan mereka tidak takut terhadap ancaman
hukuman sekalipun.
Untuk
menyelamatkan bangsa dari praktek suap dan korupsi perlu ada komitmen bersama,
khususnya antara penegak hukum, untuk bertindak tegas dalam kasus suap dan
korupsi ini, karena hal itu merupakan ancaman sangat serius bagi kelangsungan
bangsa.
Di Cina bukan tidak ada suap dan korupsi, tetapi tidak dibiarkan menjadi
suatu kewajaran dengan sanksi yang keras. Di Cina dan bahkan juga di Korea
Selatan praktek suap menyuap dan korupsi dianggap sebagai suatu yang nista.
Pelakunya benar-benar dinistakan, dihilangkan harga dirinya meski seorang
Presiden.
Di Indonesia sebaliknya, suap menyuap dan korupsi justru dianggap wajar
sehingga siapapun yang punya kesempatan akan melakukan. Hukuman untuk penyuap
dan yang disuap, serta para koruptor masih terlalu ringan, sehingga menyebabkan
korupsi dan suap menyuap tambah subur dan tanpa rasa malu.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a)
Apa pengertian
riswah ?
b)
Apa dasar hukum
riswah ?
c)
Bagaimana
sejarah riswah ?
d)
Bagaimana cara
penanggulangan riswah pada masa sahabat ?
e)
Bagaimana
problematika penanganan riswah saat ini ?
1.3 TUJUAN MAKALAH
a)
Untuk mengetahui
apa pengertian dari riswah
b)
Untuk mengetahui
apa saja dasar hukum riswah
c)
Untuk mengetahui
sejarah riswah
d)
Untuk menahami
bagaimana cara penanggulangan riswah pada masa sahabat
e)
Untuk memahami
bagaimana problematika penanganan riswah saat ini
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN RISWAH
Riswah berasal dari kata rosyaa-yarsyuu-risywatan yang berarti menyuap
atau penyuapan.[1]Dalam
bahasa Indonesia, kata menyuap-penyuapan
adalah memasukkan nasi ke dalam mulut dengan menggunakan tangan atau sendok.
Namun demikian, yang dimaksud dengan
penyuapan dalam bahasa politik dan birokrasi adalah pemberian seseorang kepada
orang lain dengan maksud-maksud tertentu seperti, ingin menjadi pegawai atau
mendapatkan kenaikan jabatan baru, ingin mendaptakan keringanan hukuman atau
melepaskan diri dari jeratan hukum yang sedang menimpanya, ingin mendapatkan
dukungan atau suara dalam pemilihan calon Presiden, Anggota Dewan, Gubernur,
Walikota/Bupati, lurah dan lain sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan Riswah menurut para ulama dan ahli bahasa
dalam Kamus Al-Misbahul Munir dan Kitab Al-Muhalla Ibnu Hazm adalah pemberian
yang diberikan seseorang kepada hakim
atau lainnya untuk memenangkan perkaranya atau untuk mendapatkan sesuatu yang
sesuai dengan kehendaknya dengan cara yang tidak dibenarkan (bathil).[2]
Sedangkan menurut Kitab Lisanul Arab dan Mu’jamul Wasith yang dimaksud dengan
riswah adalah pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan
kepentingan tertentu. Maka, berdasarkan definisi tersebut di atas, Riswah
mengandung anasir sebagai berikut : Pertama, Pemberian (athiyyah), Kedua, untuk
menarik simpati orang lain (istimalah), Ketiga, bertujuan membatalkan
kebenaran(ibtholul haq), Keempat, merealisasikan kebathilaln (ihqoqul bathil),
Kelima, mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan (almah-subiyah bighoiril
haq), Keenam,mendapatkan kepentingan yang bukan haknya (al hushul ‘alal
manafi’) dan Ketujuh, memenangkan perkaranya (al hukmu lahu).
2.2 DASAR HUKUM
RISWAH
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah
risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya
sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan
perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang
telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
Firman Allah
ta’ala:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا
إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al
Baqarah 188)
Firman Allah
ta’ala:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram” (QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna
lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang
yang diharamkan oleh Allah SWT.[3]
Rasulullah SAW
bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali
an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
Nabi Muhammad
SAW bersabda:
«كلّ لحم نبت بالسّحت
فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»
“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah
yang paling layak untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram
(as-suht) yang dimaksud?”, “Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan hadits
di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap
dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.
2.3 SEJARAH
RISWAH
2.3.1 SEJARAH SUAP DI DUNIA
Sejarah mencatat bahwa suap (Risywah) bukanlah hal yang baru, suap telah
menjadi bagian dari masyarakat sejak manusia bahkan lebih tua dari waktu
(jr.darity,2008). Pandangan lain mengatakan bahwa suap-menyuap itu muncul sejak
lahirnya peradaban, meskipun bentuk-bentuk suap yang dilakukan pada waktu itu
berbeda dengan suap yang ada di era sekarang ini (ray, 2006). Perbedaan latar
belakang sejarah, persepsi masyarakat, praktik pemerintahan, teknologi baru,
dan perubahan lingkungan ekonomi politik global-jika ditelusuri, suap yang
dilakukan para penguasa memiliki substansi yang sama, yaitu pemberian kepada
orang lain, dengan tujuan tertentu.
2.3.2 SEJARAH SUAP (Risywah) DI INDONESIA
Risywah
di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di
era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas Risywah, namun hasilnya masih jauh panggang dari
api.
Sejarawan
di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah
ekonomi, khususnya seputar suap yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan
oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan
Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih
tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang
ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya suap” yang
sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik
dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar
yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan
kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan
lain-lain” dan banyak menimbulkan tragediyang teramat dahsyat.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah
sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi suap” yang tiada
henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat
menyirnak bagaimana tradisi suap berjalin berkelin dan dengan perebutan
kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam
berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan
seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak
(Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan
seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara
telah mewarnai Sejarah suap dan Kekuasaan diIndonesia.
Belanda
memahami betul akar “budaya suap” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka
melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara!
Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan
penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan,
perebutan kekuasaanyang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang.
Gelaja suap dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh
kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum
mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku “suap” bukan
hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis,
Spanyol dan Belanda pun gemar “menyuap”, institusi atau pemerintahannya. Kita
pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebihdari
200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan
dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan
termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan
orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of
Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah
Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang
“luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa
Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi
geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan
mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya
asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku
itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan
sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai
keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka
menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau
kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal
rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara
sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau
mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka
atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka
disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.
Kritik dan saranyang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai
tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya
kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspekekonomi,
raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di
masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus
menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Kebiasaan
mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 –
1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam
Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun,yang lebih
menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya
kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi
peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi”
dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak
manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu
sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia
mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan”
menjadi “Tanam Paksa”.
Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana
sejarah “budaya suap” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya suap” yang
sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah
diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik
di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.Titik tekan dalam persoalan suap
sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam
upaya memberantas suap. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan
penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada
era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan tindak pidana suap dan korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun
ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan
Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.Salah satu
tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi
formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut
mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu
tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha
Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi
ke meja pengadilan.
Lembaga
ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktik korupsi dan suap. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.
Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan
kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang
lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Era Orde Baru
Pada
pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas suap dan korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu
memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi suap dan korupsi sampai
ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun
1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi
Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar
memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang
ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika
pada masa Orde Baru dan sebelumnya “suap” lebih banyak dilakukan oleh kalangan
elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara
negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan
Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan.
Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA
serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun
yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila
maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen”
alias “kelamaan”.
Kemudian,
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman,
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa
Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah
semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui
suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu,
Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di
samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan
bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus
dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana
Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena
kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di
masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja
betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan
berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu
Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari
jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang
utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam
upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan
wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.
2.3.3 SEJARAH RISYWAH DAN KORUPSI PADA
ZAMAN NABI
Risywah dan pemberantasanya pada masa
nabi secara tipologis terdapat dua bentuk baik yang pernah terjadi atau yang mewacana
pada masa nabi SAW. yaitu korupsi ghanmah
dan non ghanimah. Korupsi ghanimah disini adalah korupsi mantel,
manik manik, dan tali sepatu. Sedangkan korupsi non ghanimahadalah berupa memberi “hadiah” pejabat public,
mengambil kekayaan public, mengambil uang diluar gaji resmi, menggelapkan hasil
pekerjaan, dan mengambil tanah.
2.4 CARA PENANGGULANGAN RISWAH PADA MASA SAHABAT
Para Sahabat dalam menangani kasus kasus
korupsi tidak pernah melakukan pendekatan kriminalisasi terhadap pelaku korupsi
pada zamanya, mayoritas untuk tidak mengatakan langkah langkah yang kedepankan
sahabat adalah berupa langkah teologi moralitas atau moral psikologis. [4]
Para Sahabat lebih banyak melakukan
pembinaan moral dengan menanamkan kesadaran untuk menghindari perbuatan korupsi
dan mengingatkan hukuman akhirat yang akan ditimpakan. Dalam banyak kesempatan,
sahabat juga sering mengingatkan pesan nabi SAW bahwa koruptor akan masuk
neraka walaupun nominalnya sangat kecil, seperti seutas tali sepatu atau sebuah
mantel.
Dan pada kesempatan lain sahabat juga
melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat yang sudah selesai melakukan tugas.
Tindakan para sahabat ini, merupakan bentuk melanjutkan dakwah Rasulullah dalam
memberantas korupsi dan suap.semua yang di lakukan para sahabat dalam
menberantas suap dan korupsi, selain di lakukan dengan jalur hukum, didekati
pula dengan pendekatan moral. Hal ini karena, secara psikologis, orang
melakukan korupsi adlah orang yang jiwanya sedang sakit. Nilai dan kualitas
kemanusiaanya sedang terjatuh pada level hewani dan orientasi hidupnya hanya
mengejar kesenangan dan kepuasan material semata.
2.5 PROBLEMATIKA
PENANGANAN RISWAH SAAT INI
Dalam pemberantasan risywah ada dua
strategi yang menjadi substansi utama untuk mengurangi risywah. (1). Cara
prevensi, yaitucara untuk mencegah risywah sehingga tidak terjadi. (2). Cara
represif, yaitu melakukan tindakan pada pelaku suap, dimana menjatuhkan
berbagai hukuman yang berat bagi sang pelaku tersebut sehingga jerah dan tidak
mengulangi perbuatan suap tersebut.[5]
Pemberantasan suap menyuap dengan cara
prevensif atau pencegahan akan lebih efektif, karena memberikan opsi bagaimana
perbuatan suap itu dilawan atau ditantang agar tidak berkembang pada penguasa
dan lembaga-lembaga kekuasaan. Prevensi terhadap suap juga dapat berhasil jika
membangun dan mengambil model prevensi pada Negara tertentu yang telah berhasil
mencegah suap jika memang ada. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam hal
mencegah suap yaitu:
-Independent
commission against corruption(ICAC).
Dimana prevensi suap melalui semua jalur
media, ikut serta masyarakat dalam pemberantasan tindakan suap menyuap,
integritas kejujuran hakim dan ditujukan pada sector public dan swasta.
-Corrupt
practice investigation bureau (CPIB).yakni
prevensi suap menyuap dilakukan dalam benar-benar menegakkan hukum tanpa
pamrih, model seperti ini berhasil dilakukan di hongkong.
-Badan
pencegah rasuah (BPR) di Malaysia, cara
mencegah suap dengan ketegasan dan berlandaskan pada nilai-nilai moral,
penegakan aturan, adanya komitmen dan pejabat yang amanah.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sebagai kesimpulannya bahwa hukum apa saja tidak ada yang membolehkan
praktik korupsi adapun itu hukum positif, hokum adat, lebih-lebih lagi hukum
agama, khususnya islam sangat melarang korupsi, dan mengganjar pelakunya dengan
hukuman dunia dan akhirat. Korupsi apapun bentuknya, baik itu suap, maupun
pemberian hadiah merupakan hal-hal sangat merugikan bagi umat dan haram
hukumnya. Korupsi hanya akan membunuh masa depan masyarakat dan negara secara
perlahan namun pasti.
3.2 SARAN
Kami menyarankan kepada pembaca untuk dapat berpikir secara bijaksana di
dalam menanggapi berbagai fenomena yang ada saat ini, seperti halnya korupsi.
Korupsi saat ini bisa saja ditemukan dalam berbagai bentuk dan cara yang sangat
halus sehingga terkadang tanpa disadari hal-hal yang dianggap sepele pun
sebenarnya sudah tergolong ke dalam tindakan suap dan korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, A. 1996.
Muamalah. Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada.
Budi Utomo,
Setiawan. 2003. Fiqh Aktual. Jakarta:
GEMA INSANI PRESS.
Irfan, Nurul.
2013. Fiqh Jinayah. Jakarta: AMZAH.
Irfan, Nurul.
2012. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam.
jakarta: AMZAH.
risywah.Pdf)